Sekretariat:


Musholla Pesantren Al Mubarok

Kertomulyo Rt.01 Rw.04 Trangkil Pati Jawa Tengah

Jl. Soponyono RT 06 RW 02 Panggungroyom Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

Silahkan mencari disini

Jumat, 25 November 2011

Muharram adalah bulan di mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan. Muharram menjadi salah satu dari empat bulan suci yang tersebut dalam Al-Quran. "Jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, tersebut dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi.

Di antara kedua belas bulan itu ada empat bulan yang disucikan." Keempat bulan itu adalah, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Semua ahli tafsir Al-Quran sepakat dengan hal ini karena Rasululullah Saw dalam haji kesempatan haji terakhirnya mendeklarasikan, "Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan suci. Tiga di antaranya berurutan yaitu Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan ke empat adalah bulan Rajab." Selain keempat bulan khusus itu, bukan berarti bulan-bulan lainnya tidak memiliki keutamaan, karena masih ada bulan Ramadhan yang diakui sebagai bulan paling suci dalam satu satu tahun. Keempat bulan tersebut secara khusus disebut bulan-bulan yang disucikan karena ada alasan-alasan khusus pula, bahkan para penganut paganisme di Makkah mengakui keempat bulan tersebut disucikan.

Pada dasarnya setiap bulan adalah sama satu dengan yang lainnya dan tidak ada perbedaan dalam kesuciannya dibandingkan dengan bulan- bulan lain. Ketika Allah Swt memilih bulan khusus untuk menurunkan rahmatnya, maka Allah Swt lah yang memiliki kebesaran itu atas kehendakNya. Keutamaan Bulan Muharram Nabi Muhammad Saw bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram." Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari 'Asyura.

Ibnu Abbas mengatakan, ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau menjumpai orang-orang Yahudi di Madinah biasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Menurut orang-orang Yahudi itu, tanggal 10 Muharram bertepatan dengan hari ketika Nabi Musa dan pengikutnya diselamatkan dari kejaran bala tentara Firaun dengan melewati Laut Merah, sementara Firaun dan tentaranya tewas tenggelam. Mendengar hal ini, Nabi Muhammad Saw mengatakan, "Kami lebih dekat hubungannya dengan Musa daripada kalian" dan langsung menyarankan agar umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura. Bahkan dalam sejumlah tradisi umat Islam, pada awalnya berpuasa pada hari 'Asyura diwajibkan. Kemudian, puasa bulan Ramadhan-lah yang diwajibkan sementara puasa pada hari 'Asyura disunahkan.

Dikisahkan bahwa Aisyah mengatakan, "Ketika Rasullullah tiba di Madinah, ia berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Tapi ketika puasa bulan Ramadhan menjadi puasa wajib, kewajiban berpuasa itu dibatasi pada bulan Ramadhan saja dan kewajiban puasa pada hari 'Asyura dihilangkan. Umat Islam boleh berpuasa pada hari itu jika dia mau atau boleh juga tidak berpuasa, jika ia mau." Namun, Rasulullah Saw biasa berpuasa pada hari 'Asyura bahkan setelah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan.

Abdullah Ibn Mas'ud mengatakan, "Nabi Muhammad lebih memilih berpuasa pada hari 'Asyura dibandingkan hari lainnya dan lebih memilih berpuasa Ramadhan dibandingkan puasa 'Asyura." (HR Bukhari dan Muslim).

Pendek kata, disebutkan dalam sejumlah hadist bahwa puasa di hari 'Asyura hukumnya sunnah. Beberapa hadits menyarankan agar puasa hari 'Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari 'Asyura. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad Saw, orang Yahudi hanya berpuasa pada hari 'Asyura saja dan Rasulullah ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu ia menyarankan umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura ditambah puasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya (tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram).

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadist, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu boleh dilakukan.

Legenda dan Mitos Hari 'Asyura

Meski demikian banyak legenda dari salah pengertian yang terjadi di kalangan umat Islam menyangkut hari 'Asyura, meskipun tidak ada sumber otentiknya dalam Islam. 
Beberapa hal yang masih menjadi keyakinan di kalangan umat Islam adalah legenda bahwa pada hari'Asyura Nabi Adam diciptakan, pada hari 'Asyura Nabi Ibrahim dilahirkan, pada hari 'Asyura Allah Swt menerima tobat Nabi Ibrahim, pada hari 'Asyura Kiamat akan terjadi dan siapa yang mandi pada hari 'Asyura diyakini tidak akan mudah terkena penyakit.
Semua legenda itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam Islam. Begitu juga dengan keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk menyiapkan makanan khusus untuk hari 'Asyura. Sejumlah umat Islam mengaitkan kesucian hari 'Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhmmad Saw, Husain saat berperang melawan tentara Suriah. Kematian Husain memang salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun kesucian hari 'Asyura tidak bisa dikaitkan dengan peristiwa ini dengan alasan yang sederhana bahwa kesucian hari 'Asyura sudah ditegakkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh sebelum kelahiran Sayidina Husain. Sebaliknya, adalah kemuliaan bagi Husain yang kematiannya dalam pertempuran itu bersamaan dengan hari 'Asyura. Anggapan-anggapan yang salah lainnya tentang bulan Muharram adalah kepercayaan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang tidak membawa keberuntungan, karena Husain terbunuh pada bulan itu. Akibat adanya anggapan yang salah ini, banyak umat Islam yang tidak melaksanakan pernikahan pada bulan Muharram dan melakukan upacara khusus sebagai tanda ikut berduka atas tewasnya Husain dalam peperangan di Karbala, apalagi disertai dengan ritual merobek-robek baju atau memukuli dada sendiri. Nabi Muhammad sangat melarang umatnya melakukan upacara duka karena meninggalnya seseorang dengan cara seperti itu, karena tindakan itu adalah warisan orang-orang pada zaman jahiliyah. Rasulullah bersabda, "Bukanlah termasuk umatku yang memukuli dadanya, merobek bajunya dan menangis seperti orang-orang pada zaman jahiliyah."

Bulan Pengampunan Dosa

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Kata Muharram artinya 'dilarang'. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan pertumpahan darah. Seperti sudah disinggung di atas, bahwa bulan Muharram banyak memiliki keistimewaan. Khususnya pada tanggal 10 Muharram. Beberapa kemuliaan tanggal 10 Muharram antara lain Allah Swt akan mengampuni dosa-dosa setahun sebelumnya dan setahun ke depan. (Tarmizi)  

Sabtu, 05 November 2011

عيد الأضحى

Idul Adha (di Republik Indonesia, Hari Raya Haji, bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba. 
Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya. 
Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam. Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat Mekkah. 
Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji. 
Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim.

Penetapan Idul Adha 

Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah Haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.: «اَلْحَجُّ عَرَفَةُ» Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn. Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. 
Al-Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya”). 
Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata: 
«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا» 
Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”). 
Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan, untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada amir Makkah.

Jumat, 04 November 2011

KELUARGA BESAR
PESANTREN AL MUBAROK 
MENGUCAPKAN : 
SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1432 H


SEMOGA SEMUA IBADAH DAN QURBAN KITA DITERIMA OLEH ALLAH SWT 
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.....

Kamis, 03 November 2011

Tatacara dan Adab-adab Menyembelih Hewan Menurut Sunnah


Abu Numair Nawawi B. Subandi
http://fiqh-sunnah.blogspot.com

Contoh Gambarajah 1.0

Gambar Rajah 2.0

Dalam hadis-hadis yang sahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila menyembelih haiwan sama ada untuk korban (udhiyah) atau hadyu (ketika haji), beliau menyembelih dengan tangannya sendiri. Dari sini menunjukkan sebahagian dari sunnah-sunnah penyembelihan haiwan adalah berusaha untuk menyembelih dengan tangan sendiri.

Tetapi sayangnya pada hari ini ramai dari kalangan umat Islam yang tidak mampu untuk melaksanakan penyembelihan secara individu atau dengan tangannya sendiri. Antaranya disebabkan tidak memiliki ilmu, takut, tidak biasa, dan tidak yakin (was-was). Maka, tulisan ini penulis usahakan dari hasil bacaan dan catatan peribadi penulis sebagai perkongsian buat para pembaca semua yang memiliki semangat dan minat untuk memahami persoalan ini dari kaca-mata yang syar’i dan sunnah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya bermanfaat buat diri penulis dan para pembaca di luar sana sama ada di dunia mahupun di akhirat. Kepada Allah jualah penulis mengharapkan kebaikan, rahmat, dan petunjuk yang berterusan.

[Pertama] Ihsan Terhadap Haiwan Sembelihan

Di antara cara dan sikap ihsan yang disunnahkan ketika melaksanakan penyembelihan haiwan adalah:

1. Tidak menajamkan pisau di hadapan haiwan yang akan disembelih.

2. Tidak menyembelih haiwan di hadapan haiwan-haiwan lain yang akan disembelih.

3. Tidak membawa haiwan ke tempat sembelihan dengan cara yang kasar.

4. Memilih cara paling mudah dan yang paling kurang menimbulkan rasa sakit. (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 13/106. Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, 4/553)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya sentiasa bersikap ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Apabila kamu hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang paling baik. Apabila kamu hendak menyembelih haiwan, maka sembelihlah dengan cara yang paling baik iaitu dengan menajamkan alat sembelihan dan hendaklah meletakkan haiwan dalam keadaan yang selesa.” (Hadis Riwayat Muslim, 10/122, no. 3615)

Maksud, “... hendaklah meletakkan haiwan dalam keadaan yang selesa.” adalah dengan menajamkan pisau dan mempercepatkan pergerakan pisau ketika menyembelihnya. (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 13/106)

Pisau (alat menyembelih) hendaklah ditajamkan lebih awal sebagaimana kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

أتريد أن تُمِيتَها موتاتٍ هَلاَّ حَدَدْتَ شَفْرَتك قبل أن تُضْجِعَها

“Adakah kamu mahu membunuhnya dua kali? Tajamkanlah pisau terlebih dahulu sebelum kamu membaringkannya.” (Hadis Riwayat al-Hakim, 4/257, no. 7563. Dinilai sahih oleh adz-Dzahabi)

Di antara hikmahnya adalah supaya haiwan tidak dibiarkan berada dalam keadaan tertunggu-tunggu, ketakutan, dan tidak selesa.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang membunuh haiwan tanpa sebab yang wajar. Beliau bersabda:

مَا مِنْ إِنْسَانٍ قَتَلَ عُصْفُورًا فَمَا فَوْقَهَا بِغَيْرِ حَقِّهَا إِلَّا سَأَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا حَقُّهَا قَالَ يَذْبَحُهَا فَيَأْكُلُهَا وَلَا يَقْطَعُ رَأْسَهَا يَرْمِي بِهَا

“Sesiapa dari kalangan manusia yang membunuh seekor burung atau yang selain darinya tanpa haknya, maka Allah akan meminta dia bertanggungjawab kelak di akhirat.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa haknya?” Rasulullah menjawab, “Disembelih lalu dimakan, dan janganlah seseorang memotong kepalanya (membunuhnya) lalu dibuang.” (Hadis Riwayat an-Nasaa’i, 13/312, no. 4274. Dinilai dhaif oleh al-Albani)

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa Sallam juga melarang memukul muka haiwan, melarang mencaci haiwan, berlaku kasar, menyakitinya, serta melarang melaknat atau mengejek haiwan. Ini disebutkan dalam hadis-hadis yang lain.

Dalil-dalil yang dibentangkan ini menunjukkan bahawa Islam adalah agama yang sangat menganjurkan sikap ihsan bukan sahaja kepada sesama manusia, tetapi juga terhadap para haiwan. Bukan sahaja ketika haiwan tersebut hidup, tetapi juga ketika hendak menyembelih atau setelah membunuhnya.

[Kedua] Haiwan Yang Boleh Disembelih

Haiwan yang boleh disembelih adalah dari jenis haiwan darat yang mengalirkan darahnya dan halal dimakan. Ini adalah seperti unta, lembu, kambing, kijang, ayam, itik, dan angsa.

Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

قال بعض العلماء والحكمة فى اشتراط الذبح وانهار الدم تميز حلال اللحم والشحم من حرامهما وتنبيه على أن تحريم الميتة لبقاء دمها

“Sebahagian ulama menyatakan bahawa hikmah pada syarat sembelihan (adz-Dzabh) dan mengalirkan darah (an-nahr) adalah bagi membezakan di antara kehalalan daging dan lemak dari yang mengharamkannya. Perlu diperhatikan bahawa bangkai diharamkan (antaranya) kerana ia tidak mengalirkan (mengeluarkan) darah di dalam tubuhnya.” (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 13/123)

Adapun haiwan darat dari jenis yang mengalir darahnya yang tidak halal dimakan berdasarkan dalil-dalil yang telah ditentukan, maka ia adalah haram walaupun setelah disembelih, dan matinya tetap dihukumkan sebagai bangkai.

Manakala haiwan yang tidak memiliki darah yang mengalir atau tidak boleh disembelih (kerana tidak memiliki leher), jika ia mati maka matinya dianggap sebagai bangkai. Kecuali bangkai setiap jenis haiwan air dan bangkai belalang, ia halal dimakan walaupun tanpa melalui proses sembelihan.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ، وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua jenis darah. Dua bangkai tersebut adalah bangkai ikan dan belalang, manakala dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (Hadis Riwayat Ahmad, 10/16, no. 5723. Dinilai sahih oleh al-Albani dan hasan oleh Syu’aib al-Arnauth)

Juga sebagaimana sabda beliau yang lain:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Hadis Riwayat Malik, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaa’i, dan Ibnu Majah. Hasan sahih sebagaimana kata at-Tirmidzi)

[Ketiga] Menghadapkan Haiwan Sembelihan Ke Arah Kiblat

Disunnahkan agar haiwan dihadapkan ke arah kiblat ketika menyembelihnya.

Nafi’ mengatakan:

أن بن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة

“Bahawasanya Ibnu ‘Umar tidak suka makan daging haiwan yang tidak menghadap kiblat ketika disembelih.” (al-Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/489, no. 8585)

Demikian juga dengan Ibnu Sirin, beliau mengatakan:

كان يستحب أن توجه الذبيحة إلى القبلة

“Dianjurkan supaya menghadapkan haiwan ketika disembelih ke arah kiblat.” (al-Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/489, no. 8587)

Ini adalah sebagaimana perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika menyembelih unta hadyu di Mina. Beliau hadapkan unta-unta yang hendak disembelih ke arah kiblat. Riwayat ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 3/554-555, no. 1405. Dinilai sahih oleh ‘Abdul Qadir al-Arnauth dalam Tahqiq Jami’ al-Ushul, 3/342)

[Keempat] Membaringkan Haiwan (yang berupa kambing atau sejenisnya)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memerintahkan supaya dibawakan dua ekor kibas kepadanya untuk dikorbankan sebagaimana hadis daripada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata (kepada ‘Aisyah), “Wahai ‘Aisyah, bawakanlah pisau ke sini.”

Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu (pengasah).” ‘Aisyah pun melakukan apa yang di perintahkan beliau. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil kibas tersebut lalu membaringkannya dan menyembelihnya...” (Hadis Riwayat Muslim, 10/149, no. 3637)

Kata Imam ash-Shan’ani rahimahullah:

فيه دليل على أنه يستحب إضجاع الغنم ولا تذبح قائمة ولا باركة لأنه أرفق بها وعليه أجمع المسلمون ويكون الإضجاع على جانبها الأيسر لأنه أيسر للذابح في أخذ السكين باليمنى وإمساك رأسها باليسار

“Ini adalah dalil yang menjelaskan anjuran merebahkan haiwan yang hendak disembelih (dari jenis kambing), dan ia tidak disembelih dalam keadaan berdiri atau duduk. Kerana keadaan tersebut lebih mudah baginya dan ini adalah ijma’ (kesepakatan) al-muslimun. Ia dilakukan dengan merebahkan haiwan di atas sisi kirinya di mana ia lebih memudahkan orang yang menyembelih sambil memegang pisau di tangan kanan dan memegang kepala haiwan dengan tangan kirinya.” (ash-Shan’ani, Subulus Sulam, 4/162 – Maktabah at-Taufiqiyah)

Dalam hadis daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, ia menjelaskan posisi perletakan kaki kanan ketika menyembelih. Kata Anas:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkorban dengan dua ekor kibas yang warna putihnya lebih banyak dari warna hitam. Aku melihat beliau meletakkan kaki beliau di atas rusuk kibas tersebut sambil menyebut nama Allah dan bertakbir, lalu beliau menyembelih kedua-duanya dengan tangan beliau sendiri.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 17/255, Bab: Menyembelih Haiwan Korban Dengan Tangannya, no. 5132)

Manakala bagi unta, ianya disembelih dalam keadaan berdiri di atas tiga kakinya dan kakinya yang kiri bahagian hadapan diikat dengan tali. (Abu Malik Kamal, Shahih Fiqhus Sunnah, 2/364 – Maktabah at-Taufiqiyah)

[Kelima] Menyembelih Dengan Alat yang Tajam Selain Kuku, Tulang, Gading, dan Gigi

Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya, disunnahkan supaya menyembelih haiwan menggunakan pisau atau alat penyembelih yang tajam. Kemudian Rasulullah mengecualikannya dengan gigi dan tulang.

Ketika seorang sahabat membunuh seekor unta yang bertindak liar dengan tikaman (lemparan) tombak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Setiap apa yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah kecuali yang ditumpahkan darahnya dengan gigi dan kuku, dan akan kusampaikan tentang itu. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Manakala kuku, ia adalah pisaunya orang-orang Habasyah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/391, no. 2308)

Kata Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H):

وفى هذا الحديث تصريح بجواز الذبح بكل محدد يقطع إلا الظفر والسن وسائر العظام

“Hadis ini menjelaskan tentang dibolehkan menyembelih haiwan dengan apa jua alat yang tajam selagi mana boleh untuk memotong selain kuku, gigi dan segala jenis tulang.” (Syarah Shahih Muslim, 13/123)

[Keenam] Teknik Sembelihan (at-Tadzkiyah)

At-Tadzkiyah menurut bahasa adalah mashdar dari dzakaitu al-hayawan (aku menyembelih haiwan). Dan isim (bentuk kata benda)nya adalah dzakah, iaitu adz-Dzabh dan an-Nahr.

Menurut istilah, ia adalah faktor yang menyebabkan dihalalkan memakan haiwan darat.

Para ulama menjelaskan bahawa an-Nahr (menusuk pada bahagian leher) adalah teknik sembelihan khusus bagi unta, dan adz-Dzabh (sembelihan dengan cara memotong di leher) adalah bagi haiwan selain unta.

Mazhab Abu Hanifah mengatakan, “Penyembelihan adalah suatu kaedah yang syar’i untuk menjaga kesucian haiwan agar halal untuk dimakan sekiranya ia halal dimakan. Atau bagi tujuan memanfaatkan kulit dan bulunya jika haiwan tersebut tidak halal dimakan.” (Shahih Fiqhus Sunnah, 2/357 – Maktabah at-Taufiqiyah)

Mazhab al-Hanabilah (pengikut Ahmad B. Hanbal) mendefinisikannya sebagai, “Dzabh (memotong) atau Nahr (menusuk) adalah kaedah penyembelihan untuk haiwan darat yang berada dalam kawalan (yang mampu ditangkap) selain belalang atau yang sejenisnya dengan memotong saluran halkum (trakea/salur pernafasan) dan mari’ (esofagus/salur makanan), atau dengan cara menusuk bagi haiwan yang kuat meronta atau terhalang dari menyembelihnya (sebagaimana membunuh haiwan buruan – Pen.).” (Shahih Fiqhus Sunnah, 2/357 – Maktabah at-Taufiqiyah)

Kaedah membunuh haiwan buruan yang liar yang tidak dapat ditangkap adalah dengan cara melemparkan (iaitu menusukkan) pada mana-mana bahagian tubuhnya dengan senjata tajam atau dengan menggunakan khidmat haiwan pemburu yang terlatih.

Adapun berkenaan syarat sembelihan atau bahagian yang perlu diputuskan atau dipotong, Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menyebutkan:

الشافعى وأصحابه وموافقوهم لاتحصل الذكاة إلابقطع الحلقوم والمرئ بكمالهما ويستحب قطع الودجين ولايشترط وهذا أصح الروايتين عن أحمد وقال بن المنذر أجمع العلماء على أنه اذا قطع الحلقوم والمرئ والودجين وأسال الدم حصلت الذكاة قال واختلفوا فى قطع بعض هذا

“Imam asy-Syafi’i, para sahabatnya, dan orang-orang yang bersetuju dengannya mengatakan, “Tidak sah suatu sembelihan melainkan setelah terpotong pada halkum (salur pernafasan) dan mari’ (salur makanan/esofagus) secara sempurna. Dan disunnahkan memotong dua urat darahnya yang lain (yang terdapat di sekitar leher), tetapi ini tidaklah termasuk syarat. Dan ini juga adalah pendapat yang kuat dari Imam Ahmad berdasarkan dua riwayat.

Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat (ijma’) bahawa apabila telah terpotong halkum (salur pernafasan), salur makanannya (esofafus), dan kedua urat darah pada leher haiwan sembelihan, serta mengalirkan darahnya, maka ini sudah dianggap sebagai sembelihan yang benar dan sah.” Al-Mundzir melanjutkan, “Dan mereka (para ulama) berselisih apabila yang terpotong hanya sebahagian dari apa yang disebutkan ini.” (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 13/124)

Berkaitan haiwan liar atau haiwan yang yang asalnya jinak tetapi kemudian menjadi liar, Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وأما المتوحش كالصيد فجميع أجزائه يذبح مادام متوحشا فإذا رماه بسهم أو أرسل عليه جارحة فأصاب شيئا منه ومات به حل بالاجماع وأما اذا توحش انسى بأن ند بعير أو بقرة أو فرس أوشردت شاة أو غيرها فهو كالصيد فيحل بالرمى إلى غير مذبحه وبإرسال الكلب وغيره من الجوارح عليه

“Adapun bagi haiwan liar yang termasuk haiwan buruan, maka seluruh anggotanya boleh dijadikan sebagai sasaran sembelihan selagi mana ia liar dan tidak dapat ditangkap (untuk disembelih secara normal) sehingga apabila dilempar dengan tusukan panah atau ditangkap oleh anjing pemburu yang terlatih kemudian mengenai sebahagian dari anggota badannya dan mati, maka hukumnya adalah halal dengan ijma’ (kesepakatan ulama).

Adapun jika haiwan jinak yang bertukar liar (mengganas) seperti unta yang terlepas (atau mengamuk - pen.), atau lembu, atau kuda, atau mungkin kambing dan selainnya, maka ia dianggap sebagaimana haiwan buruan yang mana ia boleh dilempar dengan panah (objek tajam) di selain tempat sembelihannya yang asal dan boleh juga ditangkap menggunakan khidmat anjing pemburu yang terlatih.” (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 13/126)

Ini adalah sebagaimana dalil hadis daripada ‘Abayah B. Rifa’ah B. Rafi’ B. Khadij yang menjelaskan daripada datuknya:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَأَصَابَ النَّاسَ جُوعٌ فَأَصَابُوا إِبِلًا وَغَنَمًا قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُخْرَيَاتِ الْقَوْمِ فَعَجِلُوا وَذَبَحُوا وَنَصَبُوا الْقُدُورَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقُدُورِ فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ قَسَمَ فَعَدَلَ عَشَرَةً مِنْ الْغَنَمِ بِبَعِيرٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَطَلَبُوهُ فَأَعْيَاهُمْ وَكَانَ فِي الْقَوْمِ خَيْلٌ يَسِيرَةٌ فَأَهْوَى رَجُلٌ مِنْهُمْ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا فَقَالَ جَدِّي إِنَّا نَرْجُو أَوْ نَخَافُ الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى أَفَنَذْبَحُ بِالْقَصَبِ قَالَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di Dzul Hulaifah ketika sebahagian orang mengalami kelaparan lalu mereka mengambil (harta rampasan perang berupa) unta dan kambing. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berada di belakang bersama rombongan yang lain. Orang-orang yang kelaparan tersebut menyembelih lalu mengambil daging sebanyak satu kuali.

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membahagi sama-rata di mana bahagian setiap sepuluh ekor kambing sama dengan satu ekor unta. Tetapi kemudian ada seekor unta yang lari lalu mereka mencarinya sampai kepenatan. Sementara itu di antara mereka ada yang memiliki seekor kuda yang lincah lalu ia pun mencari unta yang terlepas tadi dan memburunya dengan panah hingga akhirnya Allah mentakdirkannya dapat membunuh unta tersebut.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya haiwan seperti ini hukumnya sama dengan haiwan liar (haiwan buruan). Maka apa sahaja yang terlepas dari kamu (dan gagal untuk ditangkap), lakukanlah seperti ini.”

Datukku berkata, “Kita berharap atau bimbang bertemu musuh pada esok hari sedangkan kita tidak memiliki pisau, adakah kita boleh menyembelih dengan kayu?”

Beliau bersabda, “Setiap apa yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah kecuali yang ditumpahkan darahnya dengan gigi dan kuku, dan akan kusampaikan tentang itu. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Manakala kuku, ia adalah pisaunya orang-orang Habasyah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/391, no. 2308)

Haiwan buruan yang mati hendaklah ia mati dengan sebab terkena tusukan pada bahagian alat yang tajam yang mengalirkan darah sama ada dengan mata lembing, panah, atau alat-alat yang seumpamanya yang tajam. Dan bukan pada bahagian yang tumpul seperti misalnya pada bahagian hulu lembing atau juga tidak boleh dibaling dengan bahan tumpul seperti batu yang seumpamanya.

Melainkan sekiranya ia sempat disembelih sebelum mati, maka halal. Jika mati kerana dilempar dengan objek tumpul, maka haram dimakan.

Ini sebagaimana hadis ‘Adi B. Hatim radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang berburu dengan lembing (tombak), maka beliau bersabda:
إِذَا أَصَبْتَ بِحَدِّهِ فَكُلْ فَإِذَا أَصَابَ بِعَرْضِهِ فَقَتَلَ فَإِنَّهُ وَقِيذٌ

“Apabila ia terkena pada bahagian yang tajam, maka makanlah. Tetapi apabila terkena pada bahagian yang tumpul lalu haiwan buruan tersebut terbunuh, maka janganlah memakannya kerana ia termasuk haiwan yang terbunuh kerana dibaling dengan objek tumpul.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 17/131, no. 5054)

[Ketujuh] Dibenci (makruh) Menyembelih Haiwan Hingga Terputus Lehernya

Ini adalah berdasarkan penjelasan dari kalangan sahabat dan ulama dari kalangan Tabi’in. Mereka membenci perbuatan tersebut dan sebahagiannya enggan untuk memakannya.

Nafi’ mengatakan:

أن بن عمر كان لا يأكل الشاة إذا نخعت

“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar enggan memakan daging kambing yang disembelih sehingga lehernya terputus.” (Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/490, no. 8591)

Atha’ (ulama Tabi’in) berkata:

إن ذبح ذابح فأبان الرأس فكل ما لم يتعمد ذلك

“Jika ada orang yang menyembelih haiwan sehingga kepala terpisah dari tubuhnya maka kamu makanlah asalkan orang tersebut melakukannya tanpa sengaja.” (Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/491, no. 8599)

Thawus berkata:

لو أن رجلا ذبح جديا فقطع رأسه لم يكن بأكله بأس

“Jika ada orang yang menyembelih haiwan sehingga lehernya putus maka daging haiwan tersebut tetap boleh dimakan.” (Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/491, no. 8601)

Ma’mar mengatakan:

سئل الزهري عن رجل ذبح بسيفه فقطع الرأس قال بئس ما فعل فقال الرجل فيأكلها قال نعم

“Ketika Imam az-Zuhri (ulama dari kalangan Tabi’in) ditanya tentang seseorang yang menyembelih dengan menggunakan pedang sehingga leher haiwan yang disembelih putus. Jawab beliau, “Buruk sungguh perbuatan tersebut.” Beliau ditanya lagi, “Adakah dagingnya boleh dimakan?” az-Zuhri menjawab, “Boleh.” (Mushannaf ‘Abdurrazzaq, 4/492, no. 8600)

[Kelapan] Menyebut Nama Allah Ketika Menyembelih

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ

“Dan janganlah kamu memakan haiwan-haiwan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan tersebut adalah suatu kefasikan.” (al-An’am, 6: 121)

Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Setiap apa yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/391, no. 2308)

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) menyatakan:

استدل بهذه الآية الكريمة من ذهب إلى أنه لا تحل الذبيحة التي لم يذكر اسم الله عليها، ولو كان الذابح مسلما

“Ayat ini adalah dalil bahawa sembelihan tidak halal sekiranya tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya walaupun yang menyembelihnya adalah seorang muslim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/324)

Kata Ibnu ‘Abbas, “(Tetapi sekiranya dia terlupa), maka tidak mengapa.” (Fathul Bari, 9/624)

Manakala ketika menyembelih haiwan korban, disunnahkan membaca basmalah dan takbir sambil berdoa memohon agar korbannya diterima Allah. Bagi haiwan buruan pula, nama Allah hendaklah disebut ketika melepaskan haiwan pemburu atau ketika melemparkan senjata tajam ke arah sasaran.

Ini adalah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
وَمَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُلْ

“Buruan yang kamu perolehi dengan tombakmu setelah menyebut nama Allah maka makanlah, buruan yang diperolehi oleh anjingmu yang terlatih setelah menyebut nama Allah di ketika melepaskannya maka makanlah, dan buruan yang diperolehi oleh anjingmu yang tidak terlatih jika kamu sempat menyembelihnya maka makanlah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 17/135, no. 5056)

[Kesembilan] Memastikan Haiwan Benar-benar Mati

Haiwan yang disembelih hendaklah dipastikan telah benar-benar mati terlebih dahulu sebelum dilakukan proses seterusnya. Dan kematiannya hendaklah dilakukan dengan semata-mata sembelihan tanpa sebarang tekanan atau paksaan.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu mendapat kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah darinya...” (Surah al-Hajj, 22: 36)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ

“Apa-apa bahagian yang dipotong dari haiwan yang masih hidup, maka potongan tersebut adalah bangkai.” (Hadis Riwayat Ahmad, 36/233, no. 21903. 36/235, no. 21904. Dinilai hasan oleh at-Tirmidzi dan Syu’aib al-Arnauth)

Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsirnya, “Janganlah kamu mengambil daging unta setelah disembelih melainkan setelah benar-benar mati dan tidak bergerak lagi. Disebutkan dalam hadis marfu’:

ولا تُعجِلُوا النفوسَ أن تَزْهَق

“Jangan dipaksa-paksa ruh haiwan sembelihan agar segera keluar.”.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/428)
[Kesepuluh] Sembelihan Ahli Kitab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kamu, dan makanan kamu juga halal bagi mereka.” (Surah al-Ma’idah, 5: 5)

Makanan ahli kitab yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah sembelihan ahli kitab. Ini adalah suatu yang telah disepakati oleh para ulama bahawa sembelihan mereka halal bagi umat Islam. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/40)

Secara umumnya, apa jua makanan berupa hasil sembelihan ahli kitab, ia adalah halal bagi umat Islam melainkan padanya jelas tanpa terselindung adalah makanan yang diharamkan bagi umat Islam untuk memakannya, atau mengandungi unsur-unsur terlarang seperti bercampur dengan khamr (arak), babi, atau padanya disebut nama selain nama Allah ketika menyembelih. Adapun apa yang tidak diketahui di sebalik itu, maka cukuplah maklumat secara umum dan tidak dibebankan ke atas kita untuk menyemak atau mempersoalkannya secara mendalam terlebih dahulu sebelum memakannya.

Demikian juga dengan hasil sembelihan yang datang dari umat Islam, maka kita menerimanya tanpa terlebih dahulu mempertikai, mempersoal, atau menyemaknya secara terperinci. Melainkan padanya secara jelas memiliki unsur-unsur yang haram lagi meragukan.

Ahli Kitab di sini merujuk kepada Yahudi dan Nashara secara umum tanpa membezakan Ahli Kitab di zaman Nabi atau di zaman sekarang, ataupun yang akan datang. Sama ada yang kuat berpegang kepada ajarannya yang asal atau yang telah diubah-suai. Kerana Ahli Kitab di zaman Nabi sendiri memang turut dikenali sebagai termasuk orang-orang yang mengubah-suai Kitab yang diturunkan kepada mereka.

Apabila diberi daging hasil sembelihan, dari mana-mana kalangan umat Islam atau Ahli Kitab, maka makanlah tanpa ragu-ragu dan mulakannya dengan membaca basmallah.

Ini adalah sebagaimana keterangan yang dapat diambil dari hadis ‘Aisyah radiyallahu ‘anha ketika bertanya perkara berkaitan. ‘Aisyah bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَا هُنَا أَقْوَامًا حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِشِرْكٍ يَأْتُونَا بِلُحْمَانٍ لَا نَدْرِي يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَا قَالَ اذْكُرُوا أَنْتُمْ اسْمَ اللَّهِ وَكُلُوا

“Wahai Rasulullah, di sini ada beberapa kaum yang baru saja meninggalkan kesyirikan (baru masuk Islam), mereka biasa membawakan daging untuk kami yang kami tidak tahu sama ada mereka menyembelihnya dengan menyebut nama Allah atau pun tidak?” Nabi menjawab, “Kamu sebutlah nama Allah, dan makanlah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 22/400, no. 6849)

Dalam sebuah riwayat menyebutkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersama-sama para sahabatnya dihadiahkan seekor kambing bakar oleh seorang wanita Yahudi, beliau pun memakannya tanpa was-was atau memperincikannya terlebih dahulu kedudukan daging tersebut walaupun pada daging tersebut rupa-rupanya mengandungi racun. (Rujuk Tafsir Ibnu Katsir, 3/40)

Riwayat atau kisah ini menjadi dalil bahawa tidak disunnahkan untuk terlalu memperincikan pemberian ahli kitab yang berupa hasil sembelihannya sebelum memakannya.

[Kesebelas] Haram Menyembelih Untuk Selain Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

“Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging haiwan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang mati tercekik, yang mati dipukul, yang mati terjatuh, yang mati ditanduk, dan yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. Dan (diharamkan bagi kamu) haiwan yang disembelih untuk berhala.” (Surah al-Ma’idah, 5: 3)

Haiwan yang disembelih yang padanya disebut dengan nama selain nama Allah, atau bagi tujuan pemujaan dan penyembahan, maka hukumnya adalah haram dimakan secara ijma’.

[Kedua Belas] Penyembelihan Janin Dalam Perut Induk

Apabila seekor haiwan yang disembelih dan dalam kandungannya terdapat janin yang mati, maka janin tersebut halal dimakan berdasarkan pendapat ulama yang paling sahih. Kerana ia secara hakikinya telah tersembelih bersama-sama dengan penyembelihan ibunya. Ini adalah pendapat jumhur kecuali Abu Hanifah.

Adapun bagi janin yang keluar dalam keadaan hidup dengan hayat mustaqirah, maka tidak halal dimakan melainkan dengan disembelih terlebih dahulu. (Abu Malik Kamal, Shahih Fiqhus Sunnah, 2/365-366 – Maktabah at-Taufiqiyah)

Pendapat ini didukung oleh hadis Abu Sa’id, beliau berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْجَنِينِ فَقَالَ كُلُوهُ إِنْ شِئْتُمْ وَقَالَ مُسَدَّدٌ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَنْحَرُ النَّاقَةَ وَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ وَالشَّاةَ فَنَجِدُ فِي بَطْنِهَا الْجَنِينَ أَنُلْقِيهِ أَمْ نَأْكُلُهُ قَالَ كُلُوهُ إِنْ شِئْتُمْ فَإِنَّ ذَكَاتَهُ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang janin. Maka beliau berkata, “Makanlah jika kamu suka.” Musaddad berkata, kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami menyembelih unta, lembu, dan kambing, kemudian kami dapati janin di dalam perutnya. Adakah kami perlu membuangnya atau kami boleh memakannya?” Beliau berkata, “Makanlah jika kamu mahu, kerana penyembelihannya adalah dengan menyembelih ibunya.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 8/3, no. 2444. Dinilai sahih oleh al-Albani)

[Ketiga Belas] Ringkasan Syarat-syarat Umum Penyembelihan

1. Haiwan yang disembelih hendaklah masih hidup ketika sembelihan dilaksanakan.

2. Matinya haiwan adalah dengan secara normal (natural) hasil sembelihan.

3. Haiwan tersebut bukan termasuk haiwan buruan di tanah haram.

4. Orang yang menyembelihnya hendaklah berakal (tidak gila atau mabuk) sama ada lelaki ataupun wanita, sama ada baligh atau pun belum, iaitu yang telah tamyiz (tahu membezakan di antara yang baik dengan yang buruk).

5. Menyebut nama Allah ketika menyembelih. Dan dimaafkan sekiranya terlupa.

6. Penyembelih hendaklah dari kalangan Muslim atau Ahli Kitab.

7. Bukan dalam keadaan ihram. Mereka yang menyembelih dalam keadaan sedang berihram, maka hasilnya adalah bangkai. Dan syarat ini adalah bagi sembelihan haiwan buruan. Adapun bagi haiwan yang jinak, tidak mengapa disembelih oleh orang-orang yang berihram.

8. Bukan disembelih untuk tujuan pemujaan, penyembahan, dan yang padanya disebut selain dari nama Allah.

Puasa Tarwiyah dan Arafah

PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:
صوم يوم عرفة يكفرسنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية 
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim) 

Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. 
Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum. 

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء 

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari) 

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci. Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia. Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata. 

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. 

Disebutkandalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku. 

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim).

Fadhilat Bulan DZulhijjah


Abul-Laits Asssamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas r.a berkata:  Nabi SAW.  bersabda yang bermaksud; 



Tiada sesuatu hari yang mana oraang beramal sholeh di dalamnya yang lebih disukai Allah daripada hari-hari ini(yakni permulaan Zulhijjah dari 1 hingga 10).  Sahabat bertanya:  Walaupoun jihad fisabiliLlah ya Rasulullah?  Jawab Rasulullah SAW.;  Walaupun jihat fisabiliLlah kecuali seorang keluar dengan membawa semua hartanya dan tidak kembali sama sekali(yakni habis hartanya dan mati).



Salah satu cara yang telah dianjurkan oleh agama kita ialah  dengan berpuasa sunat pada tanggal 1 hingga 9 Zulhijjah.  Kelebihan berpuasa pada hari itu berbeda-beda pula, menurut sebuah Hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.,  Rasulullah bersabda maksudnya;



 
HARI
KELEBIHANNYA
1 ZULHIJJAH
kesalahan Nabi Adam diampuni Allah, barang siapa
berpuasa pada hari itu, diampuni Allah akan dosanya.
2 ZULHIJJAH
doa Nabi Yunus diperkenankan oleh Allah, barangsiapa berpuasa pada hari itu seolah-olah ia berpuasa setahun dan tidak pernah berbuat maksiat sedikit pun.

3 ZULHIJJAH
doa Nabi Zakaria diperkenankan Allah, barang siapa berpuasa pada hari itu, diperkenankan Allah segala doanya
4 ZULHIJJAH
Nabi Isa a.s. telah dilahirkan, barang siapa berpuasa pada hari itu terhindar ia daripada kefakiran serta kemelaratan dan pada hari kiamat kelak ia akan tergolong bersama dengan orang-orang terhormat
5 ZULHIJJAH
Nabi Musa a.s. dilahirkan, barang siapa berpuasa pada hari itu terlepas ia daripada sifat munafik serta seksa kubur.
6 ZULHIJJAH
Allah membukakan pintu kebajikan kepada Nabi-NabiNya,
barang siapa berpuasa pada hari itu ia akan dipandang oleh Allah dengan penuh rahmat dan kasih sayang serta terlepas daripada azab.
7 ZULHIJJAH
pintu neraka jahannam akan dikunci dan dibuka semula lewat 10 Zulhijjah.  Barang siapa berpuasa pada hari itu, dikuncikan Allah baginya 30 pintu kesulitan dan dibukakan 30 pintu kesenangan.
8 ZULHIJJAH, 
Nabi Ibrahim bermimpi mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih puteranya Ismail.  Seharian ia berfikir apakah perintah itu datangnya dari Allah atau dari syaitan.  Hari itu telah dinamakan dengan dari "Tarwiya" (hari berfikir-fikir). Barang siapa berpuasa pada hari itu ia akan diberi Allah pahala yang tidak terhitung jumlahnya, hanya Allah yang mengetahui.
9 ZULHIJJAH
 turun ayat terakhir kepada Rasulullah s.a.w. yang tersebut dalam surah al-Ma'idah, ayat 3.  Menurut sejarah, 81 hari setelah ayat ini diturunkan iaitu pada hari Jumaat tanggal 9 Zulhijjah tahun 9 H ketika Nabi wukuf di Arafah, baginda pun wafat.  Pada hari itu juga Allah memberitahu kepada Nabi Ibrahim bahawa perintah menyembelih anak itu sememangnya adalah perintah dariNya bukan dari syaitan.  Justeru hari itu dinamakan hari "Arafah" (hari tahu).  Barangsiapa yang berpuasa pada hari itu akan diampunkan  Allah dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang
10 ZULHIJJAH
 adalah Hari Raya Aidul Adha (korban) dinamakan juga hari "Nahar" (menyembelih).  Barang siapa berkorban pada hari itu dengan seekor korban, maka setiap titisan darah yang mengalir dari leher haiwan itu akan diampuni Allah akan dosanya serta dosa ahli  keluarganya.  Barang siapa yang bersedekah dengan memberi makanan kepada fakir miskin atau satu sedekah pada hari itu, maka ia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kemudian dalam keadaan aman dan sentosa serta timbangan amal baiknya lebih berat daripada
Bukit Uhud yang terdapat di Madinah.


Abil-Laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Ubaid bin Allaitsi berkata; 


Sesungguhnya Allah telah menghadiahkan kepada Nabi Musa bin Imraan alaihissalam "lima doa" untuk dibaca pada hari-hari sepuluh yang dibawa oleh Malaikat Jibril a.s.


 

Lafaz Doa (Harap dapat dirujuk kepada yang ahli/biasa dengan doa-doa ini.
Makna/Pengertian
1
La ilaha illallahu wahdahu laa syarakalahu,  lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumiitu wahawa hayyun laa yamutu biyadihil khairu wahuwa ala kulli syai'in qodier
Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Tunggal dan tiada bersekutu,  semua milik/kerajaan dan pujian adalah HaqNya dan Dia Hidup tidak mati.
2
Asyhadu an laa ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu,  ilaahan waahidan ahadan shomadan lam yattakhiz sho hibatan walaa waladan
Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan kecuali Allah Yang Esa dan tidak bersekutu,  Tuhan Yang Tunggal,  Yang Dibutuhkan,  Yang Tidak Berkawan dan Tidak beranak.
3
Asyhadu anlaa ila haillallahu wahdahu laa syariikalahu ahadun shomadun lam yalid walam yakullahu kufuwan ahad.
Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan kecuali Allah Yang Esa,  Satu dan sangat dihajatkan, tiada beranak dan tiada diperanakkan,  dan tiada bandingan sesuatu apa pun.
4
Asyhadu anlaa la haillallahu wahdahu laa syariikalahu mulku walahul hamdu yuhyi wayumitu wahuwa hayyun laa yamuu tu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syai'in qodier.
Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan kecuali Allah Yang Esa dan tidak bersekutu,  baginya kerajaan dan pujian,  menghidupkan dan mematikan,  dan Dia Hidup tidak mati,  di TanganNya semua kebaikan,  dan Dia di atas segala sesuatu Maha Berkuasa.
5
Hasbiyallahu wakfa sami'allahu liman da'aa laisa waraa allahi muntahi.
Allah telah menjamin aku,  dan cukup Allah telah Mendengar tiap-tiap siapa yang berdoa,  Tidak ada selain Allah tempat meminta dan berhajat.


Juga tersebut bahawa doa-doa dan kalimah ini diturunkan di dalam Injil,  dan orang-orang Hawariyyun menanyakan fadhilah kalimah-kalimah ini kepada Nabi Isa a.s.;  maka diterangkan kepada mereka fadhilah dan pahalanya yang tidak dapat dihitung oleh orang yang membacanya pada hari-hari sepuluh(dari 1 hingga 10 Zulhijjah).



Ganjaran Bagi Mereka Yang Memuliakan Zulhijjah

Kata sebahagian Ulama, "Barang siapa yang memuliakan hari-hari yang berlalu dalam bulan Zulhijjah, nescaya ia akan dianugerahi oleh Allah dengan 10 macam kemuliaan iaitu:
  • 1. Berkat pada umurnya
  • 2. Bertambah hartanya
  • 3. Kehidupan rumahtangganya akan terjamin
  • 4. Membersihkan diri daripada dosa dan kesalahan yang telah lalu
  • 5. Amal ibadat serta kebaikannya akan berganda
  • 6. Allah akan memudahkan pada saat kematiannya
  • 7. Allah akan menerangi kuburnya selama berada di alam barzakh
  • 8. Allah akan memberatkan timbangan amal baiknya semasa di Mahsyar
  • 9. Selamat daripada kejatuhan kedudukannya di dunia
  • 10. Martabatnya akan dinaikkan pada sisi Allah.

Amalan Di Bulan Zulhijjah



 
HARI
AMALAN
1 hingga 9 Zulhijjah
Sunat berpuasa
8 Zulhijjah
Hidupkan malamnya dengan banyak beribadat
9 Zulhijjah
(Hari Wukuf di Arafah)
Hidupkan malamnya dengan banyak beribadat, Disunatkan berpuasa bagi orang yang tidak mengerjakan haji, 
·  Membaca surah Al-Ikhlas 1000 kali
·  Solat pada awal waktu.. jadilah ianya amalan harian hendaknya..
·  Solat sunat qabliyah asar
·  Selepas solat asar - Baca Surah Yasin 3 kali
·  Membaca Laillahaillalah wahdahula....huallakulishaiinkodir sebanyak 400 kali (bermula dari asar - isyak boleh sambung) Fadhilatnya bagaikan memerdekakan 100 hamba.
·  Solat sunat qabliyah & ba'diyah maghrib
·  Selepas solat maghrib - solat sunat awwabin 6 ra'kaat (3 salam) Fadhilat penghapusan dosa     bagi 50 tahun - hadith... jadikanlah ianya amalan bulanan/mingguan hendaknya...
·  Solat sunat tasbih
·  Solat sunat hajat
·  Berdoa dengan doa Nabi Adam iaitu robbana zolamna... sebanyak 50 kali
10 Zulhijjah 
Hari Raya Haji/Korban
Sembahyang sunat Hari Raya Aidil Adha - Membaca takbir
 Melakukan korban
 11, 12 dan 13 Zulhijjah (Hari-hari Tasyrik)
hidupkan malamnya dengan banyak beribadah, takbir selepas sembahyang waktu
29 atau 30 Zulhijjah
Selepas solat 'Asar membaca doa akhir tahun. Selepas solat Maghrib membaca doa tahun baru.

Allahu A'lam