Sekretariat:


Musholla Pesantren Al Mubarok

Kertomulyo Rt.01 Rw.04 Trangkil Pati Jawa Tengah

Jl. Soponyono RT 06 RW 02 Panggungroyom Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

Silahkan mencari disini

Sabtu, 29 Desember 2012

TRADISI MASYARAKAT JAWA PADA BULAN SAFAR

Bulan Safar menurut penanggalan Islam merupakan bulan kedua dalam kalender hijriyah. Tidak ada amalan ibadah khusus yang dicontohkan oleh Rasulullah saw di bulan ini sebagaimana di bulan-bulan lain. Hanya saja, bulan ini menurut anggapan masyarakat awam memiliki karakteristik yang sangat unik dan sarat dengan mitos sehingga menimbulkan rasa penasaran bagi orang-orang yang belum tahu. Banyak tradisi atau kepercayaan nenek moyang yang saat sekarang masih dipertahankan dan dilestarikan yang dikaitkan dengan beberapa peristiwa yang muncul di bulan ini. Cukup banyak yang harus dikaji tentang tradisi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat kita yang begitu konsisten mempertahankan budaya dan kepercayaan masing-masing yang diwariskan nenek moyang pada zaman dahulu.

1. Mitos hari sial

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa umumnya, sifat bulan safar hampir sama dengan bulan sebelumnya yang merupakan kelanjutan dari bulan Suro (Muharram). Bulan ini diyakini sebagai bulan yang penuh bencana, bala’, malapetaka dan kesialan. Mayoritas masyarakat jawa hingga saat ini masih mempercayai bahwa bulan ini dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan.

Tidak hanya masyarakat Jawa saja tentunya, bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia pun juga masih beranggapan yang sama terhadap bulan ini. Seperti contoh Bangsa Yunani kuno, yang telah menganggap bulan safar adalah bulan yang secara mitos sebagai bulan sial yang tidak baik untuk melakukan segala aktivitas, sehingga mereka menunda atau menyegerakannya. Bangsa arab pun juga beranggapan demikian, bulan ini dijuluki dengan istilah dabbar (hari kebinasaan dan kerusakan). Sebab pada zaman peradaban awal bangsa Arab telah terjadi serentetan peristiwa na’as pada hari rabu pada bulan ini, seperti dihancurkannya kaum ‘Aad, ditumpasnya kaum Tsamud, dan tenggelamnya Raja Fir’aun pada zaman Nabi Musa as.

Masyarakat Jawa sendiri yang beraliran kejawen, menganggap hari rabu legi pada bulan safar dianggap sebagai hari yang jelek sekali sehingga tidak boleh dibuat bepergian, dan hari rabu pahing yang dipercaya sebagai dina taliwangke yaitu hari yang sebaiknya disirik.

Di kalangan umat Islam sendiri masih meyakini bahwa ketidakberuntungan bulan ini disebabkan karena Al-Qur’an menyinggung tentang perihal hari na’as, seperti yang telah disebutkan dalan QS Fushilat ayat 16, QS. Al-Haaqah ayat 7 dan QS Al-Qamar ayat 19. Para mufassir (ahli tafsir hadits) banyak menafsirkan bahwa hari rabu berdasarkan hadits mauquf riwayat Thabrani merupakan hari na’as. Kemudian dipertegas dengan karena adanya sabda Rasulullah yang berbunyi, “Barangsiapa yang memberikan kabar gembira kepadaku tentang telah berlalunya (bulan) safar, maka aku akan memberi mereka berita gembira tentang surga yang akan dimasukinya”.

Walaupun sekilas dapat dimaknai bahwa Rasulullah juga tidak menyukai bulan safar karena ketidakberuntungannya, tetapi sebenarnya makna dari hadits tersebut bukan seperti itu. Menurut riwayat yang lain, Rasulullah mengatakan seperti itu lantaran diberitahu oleh Allah bahwa beliau akan dipanggil oleh-Nya pada bulan sesudahnya (Rabi’ul Awal). Untuk itu, Rasulullah memberitahu ummatnya bahwa beliau menanti tibanya bulan Rabi’ul Awal sebagai bulan yang dinanti-nanti keberkahannya dengan dipertemukannya dengan Allah swt melalui perantara kematian.

Jadi, sebenarnya sudah ada pemahaman tentang hari na’as di sebagian besar masyarakat di seluruh dunia. Terbukti dengan berkembangnya hitungan hari sebagai langkah ikhtiar supaya mendapat keberuntungan, baik dalam kosmologi kejawen, Arab dan Bangsa Maya. Hanya saja, banyak terjadi penyimpangan perilaku di dalamnya yang mengarah pada kesyirikan dan menafikan pengaruh takdir Allah. Dan tak jarang sebagian orang mempercayai bahwa hari punya roh, punya kekuatan dan punya pengaruh sendiri yang berdampak pada perubahan kondisi pada hari itu. Hal inilah yang dapat membahayakan aqidah umat sehingga perlu diluruskan.

2. Tradisi Rebo Wekasan

Rebo wekasan (istilah masyarakat Jawa Timur), Rebo Pungkasan (istilah Yogya dan Jawa Tengah), dan Rebo Kasan (istilah Sunda Banten) adalah sebutan untuk hari rabu minggu keempat pada bulan safar. Rebo (rabu) merupakan hari ketiga dalam sepekan. Sedangkan wekasan adalah istilah yang berasal dari akar kata wekas yang berarti “pesan” atau “wanti-wanti”. Kemudian istilah pungkasan berasal dari akar kata pungkas yang berarti “akhir”. Yang terakhir, kasan adalah kata yang berasal dari kedua istilah diatas dengan menghilangkan suku kata di depannya.

Menurut Sarjana Belanda, Pyper, dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Aspek Tentang Sejarah Islam Indonesia Abad ke-19” menyebutkan sejak awal abad ke-17, tradisi ini sudah muncul di masyarakat muslim, khususnya di Aceh, Sumatera Barat dan Jawa. Masyarakat Cirebon misalnya, mempercayai bahwa ritual rebo pungkasan digagas oleh Sunan Kalijaga dan disetujui oleh Sunan Gunung Jati, bermula dari peristiwa dieksekusi matinya Syekh Lemah Abang/Syekh Siti Jenar di Masjid Agung Cirebon karena telah menyebarkan paham sesat “wihdatul wujud” (bersatunya Allah dengan manusia). Saat dieksekusi, dari mulut Syekh Siti Jenar keluar sumpah serapah yang tidak mengenakkan. Kemudian untuk ngemong murid-murid Syekh Siti Jenar, dibuatlah tradisi sedekah dengan membagikan kue apem kepada tetangga-tetangga.

Di beberapa tempat pula, misal dari kalangan Islam Sufiyah atau di pondok-pondok pesantren Salaf pada saat memasuki bulan safar, didapati mereka tengah sibuk melakukan tirakat dan bershadaqah hingga bulan tersebut berlalu. Kemudian pada puncaknya yakni pada hari rabu akhir bulan Safar, mereka melaksanakan shalat sunnah hajat untuk memohon kepada Allah agar dijauhi dari bala’ bencana. Kemudian mereka melanjutkan agenda dengan melakukan ritual mandi dan minum air barokah, atau air yang sudah dicampur dengan doa-doa atau rajah-rajah tertentu. Walaupun banyak kalangan yang meyakini tradisi seperti ini merupakan bid’ah yang tidak diajarkan oleh Nabi, tapi masih banyak pula yang meneruskan dan melestarikannya.

3. Bulan safar perspektif Islam

Islam adalah agama rahmat yang tidak berdasarkan asumsi dan anggapan apalagi ramalan semata, sehingga sangat tidak benar bahwa bulan safar adalah satu satunya bulan yang penuh kesialan dan malapetaka. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Berkehendak dan Maha Mengetahui takdir manusia sehingga Allah-lah yang berhak memberikan kemujuran dan kesialan terhadap manusia yang Dia kehendaki, bukan melalui hari maupun bulan apapun. Justru dengan hadirnya mitos hari sial tersebut, orang akan semakin mendekatkan diri kepada Allah swt dan dapat meningkatkan takwa kepada-Nya.

Sial menurut kacamata syari’at adalah etika yang jelek, tempat yang tidak mendatangkan berkah dan apa yang menjadi sumber bencana. Kekufuran dan kemaksiatan adalah sial, bahkan ada yang berpendapat bahwa setiap apa-apa yang melalaikan dan memalingkan dari Allah swt adalah sial. Namun sial secara syara’ secara khusus juga dimaknai sebagai akibat dari ditimpanya bala’ bencana. Jadi kesialan tidak dikhususkan bagi bulan atau hari yang dianggap sial saja, tapi Allah juga berhak menimpakan kesialan dan bala’ pada hari-hari selain bulan safar dan hari rabu menurut apa yang Dia kehendaki. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw yang artinya:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada hammah (ruh dan jiwa manusia berada pada burung saat meninggal), tidak ada tathayyur (mengundi nasib dengan burung), tidak ada kesialan pada bulan shafar dan tidak ada ‘adwa (penularan)”. (HR. Bukhari Muslim)

Semua bulan menurut Islam adalah baik, tidak ada bulan maupun hari yang dianggap buruk karena semua itu adalah asumsi dan anggapan semata dari manusia. Manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang hari na’as maupun hari mujur. Bahkan Allah swt dengan tegas menyebutkan bahwa bala’ bencana yang terjadi justru akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan karena hari sial atau semacamnya, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

Artinya: “Dan orang-orang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka sehingga datanglah janji Allah” (QS. Ar-Ra’d :31)

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum: 41)

Malapetaka, bencana dan bala’ menurut Islam justru dapat dicegah dengan memperbanyak amalan sedekah sebagaimana sabda Rasulullah saw:

Artinya: Diriwayatkan dari Ali ra. Dalam hadits marfu’: “Bersegeralah sedekah karena bala’ tidak akan melangkahinya” (HR Thabrani).

Umat Islam dianjurkan untuk berdoa dan memperbanyak amalan shalat sunnah di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan safar saja, namun juga di bulan-bulan yang lain, sebab melalui do’a-lah takdir Allah dapat diubah. Para wali songo pun sudah mengajarkan tradisi yang Islami bagi masyarakat Jawa seperti sedekah, shalat hajat, berdiam diri di masjid dan berdoa sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Dengan demikian, maka akan semakin menyadarkan manusia supaya mereka yakin bahwa semua kemujuran dan kesialan adalah sepenuhnya berada pada genggaman takdir Allah swt dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Wallahu A’lamu Bishawab.

MENGAPA UMAT ISLAM HARUS CINTA HABAIB

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Bismillahirrohmanirrahim alhamdullilahhirobbil'alamiin washolatu wassalamu 'alaa asyrofil an'biyai wal mursaliin Habibina wa syafiina Muhammadin SAW wa 'alaa alihi wa shohbihi wa sallim ajma'iin,amma ba'du..

Setelah kita tahu siapa Ahlul Bayt Nabi Muhammad SAW dalam catatan alfaqir sebelumnya,sekarang mari kita telaah mengapa kita harus cinta dan mengikuti jejak langkah ajaran ahlul bayt Nabi SAW.Mari kita mulai dengan keistimewaan yang Allah SWT berikan pada mereka.Ahlul bayt memiliki keistimewaan dari Allah bukan karena dirinya tetapi karna dalam darah ahlul bayt ada darah Rasul yang mulya, darah daging Rasul ada pada keturunannya,sedangkan segala apa yang ada pada rasul itu istimewa dan khusus sehingga otomatis keturunan Beliau SAW punya keistimewaan dari Allah SWT.

Allah SWt berfirman,artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (wahai Muhammad SAW) dialah yang (nasab/keturunannya) terputus." (QS.AlKautsar:3)

Dari Zain bin Arqam berkata Rasulullah bersabda: "Amma ba'du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) hampir tiba dan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) , di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya". "Dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku".(Shahih Muslim).

Allah SWT berfirman :

"Katakanlah (wahai Muhammad) aku tidak minta pada kalian penghargaan atas risalah ini, kecuali kecintaan kalian pada keluargaku" (QS Assyuura 23).

Hadis Al Hakim berasal dari Zaid bin Arqam r.a.,

".. Mereka (ahlul bait) adalah keturunanku, dicipta dari darah dagingku dan dikurniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti ini, Allah SWT tidak akan menurunkan syafaatku (pertolonganku)"

Ad-Dailami meriwayatkan hadis dari Ali RA yang menyebut sabda Rasulullah SAW: "Di antara kalian yang paling mantap berjalan di atas sirath ialah yang paling besar kecintaannya kepada ahlul-baitku dan para sahabatku"


Hadis riwayat At -Thabarani dan lain-lain: "Belum sempurna keiimanan seorang hamba Allah sebelum kecintannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri; sebelum kecintannya kepada keturunanku melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri; sebelum kecintaannya kepada ahli-baitku melebihi kecintaannya kepada keluarganya sendiri, dan sebelum kecintannya kepada zatku melebihi kecintaannya kepada zatnya sendiri".

Ibnu 'Abbas RA berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Cintailah Allah atas kenikmatannya yang diberikanNya kepadamu sekalian dan cintailah aku dengan mencintai Allah dan cintailah ahlul-baitku karena mencintaiku"

Allah SWT berkenan melebihkan para Imam Ahlul Bayt keturunan Nabi Muhammad SAW kepahaman dalam urusan agama dengan ketekunan mereka dalam beribadah dan sifat lembut lagi jujur disertakan akhlaq yang mereka ikuti dari para pendahulunya hingga kepada Rasulullah sebagai suri Tauladan yang secara turun temurun didikan akhlaq mereka dlm keluarga diterapkan begitu ketat dan istiqomah.sebut saja diantara mereka,diantaranya Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husein ra, Imam Hasan ra, Imam Ali Zainal Abidin Assajjad ra, Imam Muhammad Al Baqir ra,Qutbul Ghauts Assayyid Al Imam Abdul Qadir Aljailaniy quddusullah,juga Al Imam Abul Hasan Asyadzili rahimahullah, dan banyak lagi.

Dalam madzhab Imam Syafei RA mengakui keberadaan para ahlul bayt sebagaimana Imam Bukhari seorang ulama ahli hadist yang bermadzhab syafei,beliau menyebut Imam Ali bin Abi Thalib bukan dengan Radhiyallahu 'anhu tapi dengan alaihissalam, demikian pula Imam Syafii menyebut Imam Ali dengan alaihissalam,dan Imam Syafii juga mengambil sanad shalat qiyamullail nya pada Imam Ali Zainal Abidin, yaitu 500 rakaat setiap malamnya, Imam Syafii melakukannya, dan banyak lagi hal hal yg mereka panut dari Imam Imam Ahlul Bait.dan para Imam Imam Ahlul Bait semacam Imam Umar Bin Abdurrahman alAthas,Hujjatul Islam Al Imam Haddad, Hujjatul Islam Al Imam Abubakar bin Salim, dan banyak lagi.dan Madzhab syafii menjadi rujukan hampir 90% Imam Imam Ahlul Bait di dunia, maka tentunya kita yg ingin memanut mereka hendaknya mengambil madzhab syafii dalam fiqih.mengenai jalan menuju keridhoan Allah swt untuk mencapai khusyu dll tentunya kita mempunyai Thariqah, yaitu Thariqah Alawiyyah.dan tentu pada hakikatnya Imam Syafii ra tidak membuat ajaran sendiri, kesemuanya adalah ajaran Rasulullah saw.

Berkata Imam Syafei RA 'Jika aku disebut-sebut Rafidhy hanya karena mencintai keluarga keturunan Rasulullah SAW, maka saksikan wahai manusia dan jin bahwa aku adalah seorang Rafidhy.' Maksud ucapan ini membuktikan bahwa Imam Syafii adalah pecinta ahlul bait, dan pecinta ahlulbait tidak mesti rafidhiy.,ucapan ini menyatakan bahwa dirinya bukan rafidhiy, dan menghimbau agar orang orang jangan sampai takut disebut rafidhiy hanya karena mencintai ahlulbait.Semua orang tahu bahwa Imam syafii memuliakan sahabat, mengambil hadits2 riwayat Abu hurairah, Abubakar, usman, radhiyallahu anhum ajmaiin.

Kecintaan kita kepada Ahlulbait Rasul saw bukan karena pribadi mereka, tapi karena kecintaan kita pd Rasul saw, oleh sebab itu cinta kita pd mereka terkait dg norma norma syariah yg dibawa oleh Rasul saw,sering kecintaan kita pada ahlulnait Rasul saw justru merupakan pengrusakan bagi mental mereka, misalnya terlalu dibedakan, dituruti seluruh ucapan dan perintahnya walaupun salah.

Ahlulbait keturunan Rasul saw bukanlah ma'sum, mereka bukan Nabi yg terlindung dari kesalahan dan dosa, ada diantara mereka dalam faham syi'ah, ada yg faham wahabiy, ada yg liberal, walaupun sebagian besar masih dalam jalur Ahlussunnah waljamaah, dan hingga saat ini pemegang sanad hadits terbanyak ada pada kalangan ahlulbait Rasul saw yg masih menyimpannya dan menjadi marja' sanad sanad hadits Rasul saw.

Maka bila kita lihat ada keturunan Rasul saw yg salah arah, tentunya bukanlah kita memusuhinya, tapi berusaha menolongnya dari kesesatan, bila kita tidak mampu maka berdoalah agar ia mendapat hidayah dari Allah, karena mendoakan mereka tentunya bentuk hakikat kecintaan kita pd Rasul saw.

Kira kira seperti itulah cinta kita kepada Rasul saw, tuntutan dari Allah swt untuk mencintai keluarga Rasul Nya, namun tentunya kecintaan dengan menuntun mereka pada jalan yg lurus. dan bukan sebaliknya.

wallahu a'lam

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rabu, 21 November 2012

Keutamaan Hari ‘Asyura Dan Bulan Allah Muharram



 بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد خاتم الأنبياء وسيد المرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد:
Sesungguhnya bulan Allah bulan Al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci, yang mana Allah berfirman tentangnya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [التوبة : 36]
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu…”. QS. at Taubah: 36
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya: “Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya.
Dan firman Allah Ta’ala:


فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya lebih ditekankan dan lebih ditegaskan dosanya dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala:


فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”:
في كلهن ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراماً وعظّم حرماتهن، وجعل الذنب فيهن أعظم والعمل الصالح والأجر أعظم. وقال قتادة في قوله: {فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ} :
“Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim dalam seluruh bulannya (selam setahun-pent), tetapi dikhususkan 4 bulan dari itu, dan Allah telah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya, menjadikan perbuatan dosa di dalamnya berlipat dan amal shalih serta pahalanya di dalamnya (juga) lebih besar (pahalanya dibanding dengan bulan-bulan lainnya-pent).
Qatadah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat;


فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ,: “إن الظّلم في الأشهر الحرم أعظم خطيئة ووزراً من الظلم فيما سواها. وإن كان الظلم على كل حال عظيماً، ولكن الله يعظّم من أمره ما يشاء، وقال: إن الله اصطفى صفايا من خلقه: اصطفى من الملائكة رسلاً ومن الناس رسلاً، واصطفى من الكلام ذكره، واصطفى من الأرض المساجد، واصطفى من الشهور رمضان والأشهر الحرم، واصطفى من الأيام يوم الجمعة، واصطفى من الليالي ليلة القدر، فعظموا ما عظّم الله، فإنما تُعَظّم الأمور بما عظمها الله به عند أهل الفهم وأهل العقل”
“Sesungguhnya berbuat zhalim di dalam bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat zhalim di dalam bulan lainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan kehendaknya”.
beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih dari bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).


Keutamaan memperbanyak puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram”. Hadits riwayat Muslim, no. 1982.
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan. Al Qari rahimahullah berkata:


الظاهر أن المراد جميع شهر المحرّم.
“Yang terlihat jelas bahwa maksudnya adalah seluruh (hari pada) bulan Muharram”.
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut….lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim.


Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata:


وتفضيل الأماكن والأزمان ضربان: أحدهما: دُنيويٌّ.. والضرب الثاني: تفضيل ديني راجعٌ إلى الله يجود على عباده فيها بتفضيل أجر العاملين، كتفضيل صوم سائر الشهور، وكذلك يوم عاشوراء.. ففضلها راجعٌ إلى جود الله وإحسانه إلى عباده فيها..
“Dan pengutamaan tempat dan zaman ada dua macam, yang pertama: berdasarkan sisi duniawi… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini dikembalikan kepada Allah yang memberikan kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya  kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘Asyura-’ ditilik dari sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa”. Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865.
Maksud sabda beliau: ” “هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:


 هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah hari yang agung, Allah  telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari ini.” HR. Muslim
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:


وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissslam) diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur.”
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun  memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahuallah juga terdapat lafadz:


فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya: “Maka Nabi Muhammad  berkata kepada para shahabatnya : “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. HR. Bukhari.
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:


«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»
“Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata:


“لعل قريشاً كانوا يستندون في صومه إلى شرع من مضى كإبراهيم عليه السّلام. وقد ثبت أيضا أنّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يصومه بمكة قبل أن يهاجر إلى المدينة، فلما هاجر إلى المدينة وجد اليهود يحتفلون به فسألهم عن السبب فأجابوه كما تقدّم في الحديث، وأمر بمخالفتهم في اتّخاذه عيدا كما جاء في حديث أبي موسى قال: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا» وفي رواية مسلم: «كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه عيدا» وفي رواية له أيضا: «كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ» [رواه البخاري].
وظاهر هذا أن الباعث على الأمر بصومه محبة مخالفة اليهود حتى يصام ما يفطرون فيه، لأن يوم العيد لا يصام”.


“Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallalalhu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan  untuk menyelesihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:


كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:


كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: “Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari ‘asyura-’ dan  selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”. Hadits riwayat Muslim
Dan yang terlihat jelas dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)


Keutamaan Berpuasa Hari ‘Asyura-’
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري )
Artinya: “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari, ia utamakan dari yang lainnya, kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan”. HR. Bukhari, no. 1867.
Dan Makna “yataharra” adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi Bersabda:


صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :1976)
Artinya: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang sebelumnya”. HR. Muslim, no. 1976.
Ini adalah dari kemurahaan Allah untuk kita, dengan cara Dia memberikan kepada kita berpuasa satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat agung.


Hari apakah hari ‘Asyura-’?
An Nawawi rahimahullah  berkata:


“عاشوراءُ وتاسوعاءُ اسمان ممدودان، هذا هو المشهور في كتب اللغة. قال أصحابنا: عاشوراء هو اليوم العاشر من المحرَّم، وتاسوعاء هو اليوم التّاسع منه.. وبه قال جُمْهُورُ العلماء.. وهو ظاهر الأحاديث ومقتضى إطلاق اللفظ، وهو المعروف عند أهل اللغة”.
“Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami (dari madzhab Syafi’ie-pent) berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke sepuluh dari bulan Al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)
Bulan Al Muharram adalah istilah yang ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:


عاشوراء هو اليوم العاشر من المحرم. وهذا قول سعيد بن المسيب والحسن، لما روى ابنُ عبّاس، قال: «أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصوم يوم عاشوراء العاشر من المحرم» [رواه الترمذي. وقال: حديث حسن صحيح].
“‘Asyura-’ adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي)
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat  Imam Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’ (hari kesembilan dan kesepuluh bulan Al Muharram)
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:1916 )
Artinya: “Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani?”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. HR. Muslim, no. 1916.
Imam Syafi’ie rahimahullah, para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata:


“يستحب صوم التاسع والعاشر جميعاً; لأن النبي صلى الله عليه وسلم صام العاشر، ونوى صيام التاسع”.
“Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh kedua-duanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan: Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram maka itu yang lebih utama dan lebih baik.


Hikmat dari penganjuran berpuasa pada hari Tasu’a-’
An Nawawi rahimahullah berkata:


“ذكر العلماء من أصحابنا وغيرهم في حكمة استحباب صوم تاسوعاء أوجهاً:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ مُخَالَفَةُ الْيَهُودِ فِي اقْتِصَارِهِمْ عَلَى الْعَاشِرِ.
الثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ وَصْلُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ بِصَوْمٍ، كَمَا نَهَى أَنْ يُصَامَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَحْدَهُ، ذَكَرَهُمَا الْخَطَّابِيُّ وَآخَرُونَ.
الثَّالِثَ: الاحْتِيَاطُ فِي صَوْمِ الْعَاشِرِ خَشْيَةَ نَقْصِ الْهِلالِ، وَوُقُوعِ غَلَطٍ، فَيَكُونُ التَّاسِعُ فِي الْعَدَدِ هُوَ الْعَاشِرُ فِي نَفْسِ الأَمْرِ”. انتهى.


“Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:
Yang pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
Yang kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang lainnya.
Yang ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena ditakutkan awal bulan terlalu kecil  atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.” Selesai.
Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata:


“نَهَى صلى الله عليه وسلم عَنْ التَّشَبُّهِ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ مِثْلُ قَوْلِهِ في عَاشُورَاءَ: «لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ»”
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan”. (lihat al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzara-i’ al Mufdiyah ila Al Muharram)
Berkata AL Hafizh Ibnu Hajar:


«لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع» ما همّ به من صوم التاسع يُحتمل معناه أن لا يقتصر عليه بل يُضيفه إلى اليوم العاشر إما احتياطاً له وإما مخالفة لليهود والنصارى وهو الأرجح وبه يُشعر بعض روايات مسلم”.
“(Jika aku masih hidup sampai tahun depan, niscya aku akan benar-benar hari kesembilan), apa yang ditekadkan oleh beliau berupa berpuasa hari kesembilan, dapat dimungkinkan tidak dibatasi hanya berpuasa pada (hari kesembilan)nya saja, akan tetapi sampai hari kesepuluh (dari bulan Al Muharram), baik karena sikap kehatian-hatian untuknya atau karena sikap menyelisihi kaum Yahudi dan Nashrani dan ini yang pendapat yang paling, dan pendapat inilah yang diisyaratkan oleh beberapa riwayat dari shahih Muslim.”
Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:


“صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ وَلا يُكْرَهُ إفْرَادُهُ بِالصَّوْمِ.”.
“Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa…”. Lihat  kitab al Fatawa al Kubra, juz 5).
Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah disebutkan:


“وعاشوراء لا بأس بإفراده..”
“Dan hari ‘Asyura-’, tidak mengapa berpuasa pada hari itu saja…”. Lihat juz:3, bab puasa sunnah).
Boleh berpuasa pada hari ‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan  kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al Bahuti rahimahullah berkata:


“وَيُكْرَهُ تَعَمُّدُ إفْرَادِ يَوْمِ السَّبْتِ بِصَوْمٍ لِحَدِيثِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ بِشْرٍ عَنْ أُخْتِهِ: «لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إلّا فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ» [رَوَاهُ أَحْمَدُ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ: عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ] وَلأَنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ فَفِي إفْرَادِهِ تَشَبُّهٌ بِهِمْ.. (إلا أَنْ يُوَافِقَ) يَوْمُ الْجُمُعَةِ أَوْ السَّبْتِ (عَادَةً) كَأَنْ وَافَقَ يَوْمَ عَرَفَةَ أَوْ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَكَانَ عَادَتَهُ صَوْمُهُمَا فَلا كَرَاهَةَ; لأَنَّ الْعَادَةَ لَهَا تَأْثِيرٌ فِي ذَلِكَ”.
“Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya: “Dan janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. (hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: hadits ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari ‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut.” Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz: 2, bab Puasa sunnah.
Apakah yang harus dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas?
Imam Ahmad rahimahullah berkata:


“فَإِنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ أَوَّلُ الشَّهْرِ صَامَ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ. وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ لِيَتَيَقَّنَ صَوْمَ التَّاسِعِ وَالْعَاشِرِ”.
“Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan kesepuluhnya.” Lihat kitab Al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’.
Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.


Puasa hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa?
An Nawawi rahimahullah berkata:


“يُكَفِّرُ كُلَّ الذُّنُوبِ الصَّغَائِرِ، وَتَقْدِيرُهُ يَغْفِرُ ذُنُوبَهُ كُلَّهَا إلا الْكَبَائِرَ
“Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”.
beliau  rahimahullah berkata juga:


صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ، وَيَوْمُ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَإِذَا وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ… كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَذْكُورَاتِ صَالِحٌ لِلتَّكْفِيرِ، فَإِنْ وَجَدَ مَا يُكَفِّرُهُ مِنْ الصَّغَائِرِ كَفَّرَهُ، وَإِنْ لَمْ يُصَادِفْ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً كُتِبَتْ بِهِ حَسَنَاتٌ، وَرُفِعَتْ لَهُ بِهِ دَرَجَاتٌ وَإِنْ صَادَفَ كَبِيرَةً أَوْ كَبَائِرَ وَلَمْ يُصَادِفْ صَغَائِرَ، رَجَوْنَا أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ الْكَبَائِرِ”.
“Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita harapkan ia bisa meringankan dosa besar.” Lihat kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, juz: 6, puasa hari Arafah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:


“وَتَكْفِيرُ الطَّهَارَةِ، وَالصَّلَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَعَرَفَةَ، وَعَاشُورَاءَ لِلصَّغَائِرِ فَقَطْ”
“Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja.” Lihat kitab Al Fatawa Al Kubra, juz: 5.
Jangan terpesona dengan pahala puasa !
Beberapa orang terpesona dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari Arafah, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam pahala.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:


“لَمْ يَدْرِ هَذَا الْمُغْتَرُّ أَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ أَعْظَمُ وَأَجَلُّ مِنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَهِيَ إنَّمَا تُكَفِّرُ مَا بَيْنَهُمَا إذَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ، فَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ، وَالْجُمُعَةُ إلَى الْجُمُعَةِ لا يَقْوَيَانِ عَلَى تَكْفِيرِ الصَّغَائِرِ إلَّا مَعَ انْضِمَامِ تَرْكِ الْكَبَائِرِ إلَيْهَا، فَيَقْوَى مَجْمُوعُ الأَمْرَيْنِ عَلَى تَكْفِيرِ الصَّغَائِرِ. وَمِنْ الْمَغْرُورِينَ مَنْ يَظُنُّ أَنَّ طَاعَاتِهِ أَكْثَرُ مِنْ مَعَاصِيهِ، لاَنَّهُ لا يُحَاسِبُ نَفْسَهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ، وَلا يَتَفَقَّدُ ذُنُوبَهُ، وَإِذَا عَمِلَ طَاعَةً حَفِظَهَا وَاعْتَدَّ بِهَا، كَاَلَّذِي يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ بِلِسَانِهِ أَوْ يُسَبِّحُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ، ثُمّ يَغْتَابُ الْمُسْلِمِينَ وَيُمَزِّقُ أَعْرَاضَهُمْ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَا لا يَرْضَاهُ اللَّهُ طُولَ نَهَارِهِ، فَهَذَا أَبَدًا يَتَأَمَّلُ فِي فَضَائِلِ التَّسْبِيحَاتِ وَالتَّهْلِيلاتِ وَلا يَلْتَفِتُ إلَى مَا وَرَدَ مِنْ عُقُوبَةِ الْمُغْتَابِينَ وَالْكَذَّابِينَ وَالنَّمَّامِينَ، إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ، وَذَلِكَ مَحْضُ غُرُورٍ”.
“Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari  dosa-dosa besar.  Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang  yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia berbicara dengan sesuatu yang tidak Allah  ridhai di sepanjang harinya, maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar  penipuan.” Lihat kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, juz: 31, ghurur.
Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata:


يُكْرَهُ التَّطَوُّعُ بِالصَّوْمِ لِمَنْ عَلَيْهِ صَوْمٌ وَاجِبٌ، كَالْمَنْذُورِ وَالْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ، سَوَاءٌ كَانَ صَوْمُ التَّطَوُّعِ الَّذِي قَدَّمَهُ عَلَى الصَّوْمِ الْوَاجِبِ غَيْرَ مُؤَكَّدٍ أَوْ كَانَ مُؤَكَّدًا كَعَاشُورَاءَ وَتَاسِعِ ذِي الْحِجَّةِ عَلَى الرَّاجِحِ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إلَى حُرْمَةِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ قَبْلَ قَضَاءِ رَمَضَانَ، وَعَدَمِ صِحَّةِ التَّطَوُّعِ حِينَئِذٍ وَلَوْ اتَّسَعَ الْوَقْتُ لِلْقَضَاءِ، وَلا بُدَّ مِنْ أَنْ يَبْدَأَ بِالْفَرْضِ حَتَّى يُقْضِيَهُ.
“Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya.” Lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz: 28, puasa sunnah.
Maka dari itu hendaklah seorang muslim bersegera mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang wajib.


Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman, memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?
Beliau menjawab:


الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَمْ يَرِدْ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَلا عَنْ أَصْحَابِهِ، وَلا اسْتَحَبَّ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ لا الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ وَلا غَيْرِهِمْ، وَلا رَوَى أَهْلُ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ فِي ذَلِكَ شَيْئًا، لا عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَلا الصَّحَابَةِ، وَلا التَّابِعِينَ، لا صَحِيحًا وَلا ضَعِيفًا، وَلَكِنْ رَوَى بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ فِي ذَلِكَ أَحَادِيثَ مِثْلَ مَا رَوَوْا أَنَّ مَنْ اكْتَحَلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَرْمَدْ مِنْ ذَلِكَ الْعَامِ، وَمَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَمْرَضْ ذَلِكَ الْعَامِ، وَأَمْثَالِ ذَلِكَ.. وَرَوَوْا فِي حَدِيثٍ مَوْضُوعٍ مَكْذُوبٍ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: «أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ». وَرِوَايَةُ هَذَا كُلِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَذِبٌ.
“Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits shahihpun dari Nabi Muhammad , tidak juga dari para shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan  para pengarang kitab-kitab mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu… dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bohong.
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga berkata:


“فَصَارَتْ طَائِفَةٌ جَاهِلَةٌ ظَالِمَةٌ: إمَّا مُلْحِدَةٌ مُنَافِقَةٌ، وَإِمَّا ضَالَّةٌ غَاوِيَةٌ، تُظْهِرُ مُوَالاتَهُ وَمُوَالاةَ أَهْلِ بَيْتِهِ، تَتَّخِذُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَوْمَ مَأْتَمٍ وَحُزْنٍ وَنِيَاحَةٍ، وَتُظْهِرُ فِيهِ شِعَارَ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ لَطْمِ الْخُدُودِ، وَشَقِّ الْجُيُوبِ، وَالتَّعَزِّي بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ.. وَإِنْشَادِ قَصَائِدِ الْحُزْنِ، وَرِوَايَةِ الأَخْبَارِ الَّتِي فِيهَا كَذِبٌ كَثِيرٌ وَالصِّدْقُ فِيهَا لَيْسَ فِيهِ إلَّا تَجْدِيدُ الْحُزْنِ، وَالتَّعَصُّبُ، وَإِثَارَةُ الشَّحْنَاءِ وَالْحَرْبِ، وَإِلْقَاءُ الْفِتَنِ بَيْنَ أَهْلِ الإسلام، وَالتَّوَسُّلُ بِذَلِكَ إلَى سَبِّ السَّابِقِينَ الأَوَّلِينَ.. وَشَرُّ هَؤُلاءِ وَضَرَرُهُمْ عَلَى أَهْلِ الإسلام لا يُحْصِيهِ الرَّجُلُ الْفَصِيحُ فِي الْكَلامِ. فَعَارَضَ هَؤُلاءِ قَوْمٌ إمَّا مِنْ النَّوَاصِبِ الْمُتَعَصِّبِينَ عَلَى الْحُسَيْنِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَإِمَّا مِنْ الْجُهَّالِ الَّذِينَ قَابَلُوا الْفَاسِدَ بِالْفَاسِدِ، وَالْكَذِبَ بِالْكَذِبِ، وَالشَّرَّ بِالشَّرِّ، وَالْبِدْعَةَ بِالْبِدْعَةِ، فَوَضَعُوا الأثَارَ فِي شَعَائِرِ الْفَرَحِ وَالسُّرُورِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ كَالاكْتِحَالِ وَالاخْتِضَابِ، وَتَوْسِيعِ النَّفَقَاتِ عَلَى الْعِيَالِ، وَطَبْخِ الأَطْعِمَةِ الْخَارِجَةِ عَنْ الْعَادَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يُفْعَلُ فِي الأَعْيَادِ وَالْمَوَاسِمِ، فَصَارَ هَؤُلاءِ يَتَّخِذُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مَوْسِمًا كَمَوَاسِمِ الأَعْيَادِ وَالأَفْرَاحِ، وَأُولَئِكَ يَتَّخِذُونَهُ مَأْتَمًا يُقِيمُونَ فِيهِ الأَحْزَانَ وَالأَتْرَاحَ، وَكِلا الطَّائِفَتَيْنِ مُخْطِئَةٌ خَارِجَةٌ عَنْ السُّنَّةِ..”
“Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah…” lihat kitab Al Fatawa Al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Hajj rahimahullah menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan (dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para wanita memakai pacar. Lihat kitab Al Madkhal, juz 1, hari ‘Asyura-’.
Kita memohon kepada Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas keimanan, semoga  Allah memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik, menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat beliau.


و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين